Rabu, 21 November 2012

Menanti Panggilan Amal


Bayangkan ketika seseorang mengetuk pintu rumah Anda. Saat itu Anda sedang terlelap tidur di malam yang begitu dingin setelah seharian bekerja keras. Ketukan itu semakin keras, seolah menuntut Anda bersegera membuka pintu. Dengan langkah gontai dan boleh jadi diiringi perasaan marah, Anda menghampiri pintu. Alangkah kagetnya Anda ketika mengetahui kalau “si pengetuk pintu” adalah bos yang akan memberikan uang tunai jutaan rupiah. Saat itu masih marah dan gontaikah Anda?


Seperti itulah, mungkin perumpamaan seorang mukmin yang tiba-tiba mendapat panggilan tugas dakwah dan ibadah. Beban terasa begitu berat. Bahkan, teramat berat. Tubuh yang lelah, ngantuk, pegal-pegal, seolah sudah memberikan jawaban yang pasti.

“Tidak mau!”

Imajinasi kewajaran itu kiat kuat ketika nafsu memberikan alasan-alasan yang logis. “Apa nggak ada waktu yang lain?“. Bukankah tubuh butuh istirahat yang cukup. Bukankah tidak bagus kalau menunaikan ibadah dengan keadaan yang terlalu dipaksakan. Kurang afdhol! Dan seterusnya… dan seterusnya.

Repotnya ketika imajinasi kewajaran itu bukan hanya sesekali bersuara. Tetapi dua, tiga, empat, hingga tak terhitung. Dan jadilah imajinasi itu kian transparan dan menjadi kenyataan.

Jangan meremehkan sedikitpun tentang makruf meskipun hanya menjumpai kawan dengan berwajah ceria.” Menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran inilah inti dari dakwah. Bahkan tersenyum pun itu dakwah!

Kita pun akan terperangan bila melihat takaran amal dari para sahabat terdahulu. Mungkin kita sering minta izin untuk tidak ikut suatu kegiatan rapat (syuro’), mabit, dauroh, dan lain-lain dengan banyak alasan. Sakit, lelah, ngantuk, tak ada uang, ada acara, dan lain-lain. Kita pun merasa kalau sudah meminta izin merupakan langkah yang teramat baik. Padahal untuk ukuran sahabat, minta izin sudah termasuk aib, sangat tercela! (Ingat cerita Ka’ab bin Malik yang menunda-nunda mengikuti Perang Tabuk dengan alasan yang tidak jelas dan akhirnya tidak ikut perang sehingga Nabi tidak ridha padanya. Tobatnya diterima setelah menunggu dengan harap serta dikucilkan selama 50 hari dan tobatnya diterima Allah yang kemudian diabadikan dalam surat At-Taubah ayat 43). Kalau sahabat sekaliber Ka’ab bin Malik yang keimanan dan timbangan amalnya sangat berat di sisi Allah diterima tobatnya dalam 50 hari, kalau kita yang terlalu sering beralasan dan timbangan amalnya sangat ringan, harus menunggu berapa puluh tahun? Astaghfirullaah…

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. At-Taubah : 41) Sendiri itu baik, tapi bila kita dapat melakukannya bersama-sama secara berjamaah, itu lebih hebat. “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Qs. Ash-Shaff : 4)

Sesusah apapun kalau yang mengetuk pintu di waktu malam berhubungan dengan keuntungan, kita akan rela menyambutnya. Ketahuilah, bahwa ketukan pintu Allah jauh lebih menguntungkan. “Siapa yang mampu memberikan keuntungan dunia-akhirat yang berlipat ganda dalam perniagaan dan tidak ada kekhawatiran akan kerugian?” [ ]
———————————————–
Dikutip dari SAKSI no. 2 thn VI, 21 Okt. 2003 dengan penambahan dan pengurangan seperlunya

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan